Connected Commerce: Bisnis yang lebih baik dalam jaringan digital dan fisik

Background

Menilik pada kurun waktu satu dekade terakhir, e-commerce telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan e-commerce berkembang pesat di dunia dan Indonesia, terutama selama pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas fisik. Melansir data yang dipublikasikan oleh Meta, secara keseluruhan pertumbuhan e-commerce di asia tenggara dan Indonesia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 17 % dari tahun 2022 – 2027 dengan total GMV secara berurutan US$280 miliar dan US$ 121 miliar. Namun angka pertumbuhan tersebut melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan e-commerce pada tahun 2021 – 2022 yang mencapai 48% untuk asia tenggara dan 32% untuk Indonesia.

Meskipun e-commerce memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, kontribusinya masih relatif kecil dibandingkan dengan PDB secara keseluruhan. Penelitian oleh Survei Literasi Digital Indonesia menunjukkan bahwa hanya sekitar 33,4% dari total pengguna internet aktif menggunakan e-commerce di Indonesia. Hasil survei juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 34,1% usaha terlibat dalam kegiatan e-commerce. Ini menunjukkan bahwa adopsi e-commerce di Indonesia masih terbatas dan usaha konvensional masih mendominasi. 

Terlepas dari masifnya potensi ekonomi digital di Indonesia, tidak serta merta berbanding lurus dengan penetrasi e-commerce di Indonesia. Budaya belanja offline tetap penting bagi semua pengguna, termasuk mereka yang kadang-kadang berbelanja online. Utamanya di kota-kota tier 2 dan 3 di Pulau Jawa, belanja offline masih sangat dibutuhkan karena akses ke platform online masih terbatas. Faktanya, setiap tiga orang, hanya satu orang yang melakukan belanja via e-commerce. Pun demikian, satu orang yang melakukan belanja via e-commerce tersebut tentu masih sering melakukan belanja offline juga, sedangkan dua orang yang tidak melakukan belanja via e-commerce tentu hanya berbelanja secara offline. Fakta tersebut didasarkan dari survei Literasi Digital Indonesia 2022 pada 10.000 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Kepuasan dan kepercayaan konsumen menjadi faktor utama bagi para non-pengguna untuk tidak berbelanja online, utamanya terkait dengan kualitas produk yang mungkin tidak sesuai dengan yang diiklankan. Selain itu, faktor – faktor lain yang menjadi pertimbangan oleh  non-pengguna diantaranya adalah kualitas produk, risiko penipuan, termasuk masalah logistik. Fakta Ini menjadikan peluang sekaligus tantangan bagi saluran online untuk mengatasi masalah ini secara efektif.

Berdasarkan hasil riset katadata, UKM yang melakukan penjualan hanya secara online akan mencapai batas atasnya pada kisaran omset 100 miliar per tahun. Oleh sebab itu cukup penting untuk mendorong UKM yang sukses di digital/online untuk berani melakukan ekspansi ke ranah offline agar membuka peluang untuk mendapatkan omzet yang jauh lebih besar. Maka dari itu, online sales channel lebih cocok untuk brand yang masih berorientasi untuk meningkatkan omzet ke rentang 20 – 100 miliar Rupiah per tahun. Pemanfaatan saluran online masih menjadi pilihan brand saat ini karena lebih efisien dan efektif bagi suatu brand dalam membangun eksistensi yang kokoh di pasar. Berbeda dengan brand beromzet di atas 100 miliar per tahun yang sudah mencapai level mandek growth ceiling pada saluran online sehingga dibutuhkan fokus alternatif sales channel lain. Sales channel alternatifnya yaitu sales channel offline. 

Berbeda dengan brand beromzet 100 miliar, terdapat pola yang mencolok pada brand yang penjualan tahunannya lebih dari 500 miliar dimana kinerja saluran offline mereka konsisten lebih unggul daripada saluran online mereka. National brand melayani beragam pelanggan di seluruh Indonesia, termasuk kalangan yang memiliki akses terbatas atau yang tidak memiliki akses sama sekali ke transaksi online. Gurita bisnis mereka di kanal offline sudah mengakar kuat dan dapat mengakomodir permintaan nasional hingga pelosok negeri. Sales channel offline cenderung memiliki growth ceiling yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saluran online karena jumlah konsumen pada channel offline jauh lebih banyak dibandingkan dengan konsumen channel online, terutama di kota – kota tier bawah. Apabila merujuk dari data statistik Indonesia sebagai bahan pertimbangan, 88% penduduk Indonesia bermukim di kota – kota tier 2 dan tier 3 serta hanya 34% dari total penduduk Indonesia yang menjadi pengguna aktif e-commerce. 

 

Connected commerce

Beberapa usaha / startup yang bergerak di bidang fasilitasi perdagangan bagi UKM mencoba untuk membuat jaringan konsumen berdasarkan komunitas dan jaringan berbagai UKM sebagai penyedia barang yang dibutuhkan komunitas. Perusahaan bermodal besar juga saling bersinergi dan memperbolehkan sebagian dari fasilitas yang dimiliki untuk dipergunakan oleh perusahaan lain dalam rangka mempermudah konsumen melakukan belanja, transaksi, maupun pengambilan barang. Kedua contoh di atas adalah pendekatan usaha dan kolaborasi yang saat ini diberi istilah connected commerce.

Dengan connected commerce, UKM menjadi memiliki alternatif baru dalam memperluas exposure yang dapat meningkatkan awareness, memperoleh akses pasar, dan mendistribusikan barang. Setiap saluran penjualan memiliki profil demografis yang berbeda maka dibutuhkan strategi pemasaran melalui sales channel yang berbeda untuk mengakomodir perbedaan tersebut dan mengikuti pergeseran tren dalam penjualan offline. Connected commerce memungkinkan suatu brand untuk mengakomodir beragam konsumen di tiap perbedaan profil demografis. 

Tentu akan lebih mudah membayangkan apa itu connected commerce dengan contoh. Dalam skala global, salah satu contoh perusahaan terkenal yang berhasil menjalankan konsep omnichannel adalah IKEA. Pengalaman berbelanja online dan offline terasa seamless karena IKEA berhasil mengintegrasikan berbagai sales channel yang ada. Konsumen dapat berbelanja di outlet sekaligus mengecek pengantaran barang yang dibeli secara online. Sebaliknya, pembeli juga dapat melihat katalog dan melakukan pembelian online dan mengambil barang di outlet. Semua dilakukan tanpa hambatan karena informasi transaksi online dan offline saling terintegrasi. Inilah yang disebut dengan connected commerce. Connected commerce memungkinkan konsumen berbelanja sesuai dengan preferensi mereka dengan menggabungkan pengalaman belanja online dan offline secara seamless. Dari perspektif brand, connected commerce memerlukan adopsi teknologi yang dapat mengelola dan melacak pesanan dari seluruh sistem. Posisi connected commerce berada di tengah-tengah dari sirkulasi antara social commerce, e-commerce, dan toko ritel tradisional. Lebih tepatnya connected commerce berperan dalam menghubungkan dan mengintegrasikan berbagai jenis saluran penjualan.

 

Connected commerce sebagai perwujudan dari omnichannel

Apabila ditelusuri dari dunia penelitian / akademis melalui paper, Connected commerce merupakan generasi terkini dari konsep omnichannel karena menghubungkan dan mengintegrasikan semua sistem yang berhubungan langsung dengan konsumen. Ieva dan Ranfagni mendefinisikan Omnichannel sebagai proses yang memerlukan integrasi dan adaptasi sumber daya brand untuk menghadapi tantangan-tantangan yang muncul, seperti menjaga konsistensi substansial dari brand value, atribut, dan citra secara keseluruhan melewati berbagai layanan, pengalaman, dan saluran yang disediakan, serta mengembangkan pengalaman seamless bagi pelanggan mereka.

Pada dunia nyata sehari-hari, mayoritas penduduk di perkotaan dan sekitarnya kemungkinan besar sudah cukup sering menjumpai implementasi dari connected commerce. Apabila seseorang melakukan belanja melalui aplikasi dan dengan mudah memutuskan untuk mengambilnya dari toko atau melakukan pickup tanpa harus banyak melakukan konfirmasi terhadap pembelian dan pembayaran, maka orang tersebut telah mengalami kemudahan dari connected commerce. Ada banyak variasi implementasi dari connected commerce sehingga untuk memudahkan pembaca, penulis telah menggambarkan kemungkinan variasi connected commerce dalam peta grafis seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi konsep connected commerce

Konsep omnichannel (yang diimplementasikan dalam bentuk connected commerce) memungkinkan setiap peluang interaksi dengan konsumen menciptakan perjalanan terintegrasi yang mencerminkan perkembangan hubungan konsumen dengan brand. Konsep omnichannel meningkatkan kepercayaan konsumen dalam pembelian produk dengan cara memperkaya pengalaman membeli oleh konsumen. Menurut penelitian yang dilakukan oleh BCG dan Facebook, 94% konsumen Indonesia cenderung membeli dari penjual yang merespons komunikasi dan diskusi dengan konsumen. Hal tersebut menciptakan rasa aman bagi konsumen serta menggabungkan pengalaman konsumen yang menyenangkan.

Gambar 2. Alur sistem connected commerce

Dapat dilihat pada Gambar 2 mengenai  alur sistem connected commerce yang cukup rumit namun saling terintegrasi satu sama lain. Semua contoh brand yang menerapkan konsep connected commerce menungkinkan konsumen untuk memilih barang dari brick and mortar store atau dari platform online. Pada dasarnya urutan tahapan transaksi dimulai dari konsumen memilih barang, melakukan pembayaran dan menerima barang yang dibeli. Semua urutan tersebut tidak dibatasi oleh sales channel mana yang harus dilewati oleh konsumen. Konsumen dapat membeli barang dan melakukan pembayaran secara online namun tetap memungkinkan konsumen untuk mendapatkan barang di sales channel offline. Sebaliknya, konsumen juga dapat melakukan pembelian dan pembayaran barang pada sales channel offline sekaligus menerima barang di pick up point yang tersedia atau di alamat yang diinginkan secara online. Alur tersebut dapat dibolak – balik tanpa hambatan karena sistem sudah terintegrasi dan didukung oleh teknologi tinggi.

 

Success story of brands implementing connected commerce

Hasil wawancara katadata dengan berbagai national brand menunjukkan bahwa setiap saluran penjualan memiliki profil demografis yang unik dengan batas pertumbuhan tertentu. Beberapa national brand tersebut sepakat jika menembus batasan pertumbuhan tertentu atau growth ceiling di saluran – saluran penjualan tersebut tidak efektif. Dibutuhkan strategi promosi yang disesuaikan dengan profil masing – masing saluran agar mempertahankan penjualan tanpa memaksakan brand untuk menembus growth ceiling yang sudah dirasakan. Saluran online masih menjadi elemen krusial bagi brand dengan omzet di bawah 100M. Namun, saluran online memiliki growth ceiling yang cenderung pendek dan relatif mudah untuk mencapainya. Berbeda dengan saluran offline yang cenderung memiliki growth ceiling yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saluran online. 

Seluruh national brand yang diwawancarai mengamini bahwa saluran penjualan offline dan online sama – sama penting. Namun, National brand tersebut menyadari pentingnya memiliki strategi connected commerce ketika brand nya berkembang dan saluran mereka menjadi lebih kompleks. Connected commerce dapat membantu brand memanfaatkan peluang dari dinamika perilaku konsumen dengan mudah dengan memungkinkan konsumen untuk berinteraksi di saluran online dan offline secara terintegrasi. Kisah sukses national brand yang mencoba menggeser strategi pemasaran mereka ke connected commerce diantaranya adalah Zaskia Mecca, Wardah, Kutus Kutus, Kintakun, Avoskin, 3second. Persaingan pasar yang semakin intens membutuhkan inovasi yang mutakhir demi mempertahankan growth selling dan menembus growth ceiling. Patut disadari bahwa mengelola sirkulasi sales channel pada connected commerce cukup rumit apalagi kebutuhan untuk menjaga daya saing di pasar yang semakin ramai tak kalah rumit. Demi mengakomodir seluruh kebutuhan secara maksimal dalam waktu yang bersamaan, brand – brand tersebut bekerja sama dengan Evermos untuk mencapai konsumen yang berada di kota – kota tier 2 dan 3 terutama merangkul non e-commerce konsumen.

 

Challenges

Permasalahan terkait connected commerce yang dijabarkan di atas mungkin terkesan hanya berlaku bagi bisnis pemodal besar. Motivasi untuk terus berinovasi harfiahnya berlaku untuk semua pelaku bisnis tidak terlepas bagi pelaku UMKM agar dapat berkompetisi di pasar bebas. Di sisi lain, UKM yang berusaha melakukan ekspansi offline juga terkadang menemui hambatan karena biaya untuk membangun awareness di offline membutuhkan biaya yang cukup besar seperti biaya listing, biaya iklan billboard / tv / radio, biaya inventory consignment, dll. Pelaku UMKM dan seluruh pelaku dalam rantai pasok ekonomi di Indonesia tidak dapat menyelesaikan isu integrasi ini secara mandiri. Maka dari itu, dibutuhkan dukungan dari pemerintah sehingga dapat membangun infrastruktur dan ekosistem agar pelaku UMKM dapat berkompetisi di pasar bebas dengan mengangkat keunggulan masing – masing. Pemerintah dapat bertindak sebagai penengah antara pelaku UMKM dengan pemodal besar dan seluruh pelaku dalam rantai pasok demi menciptakan playing field yang setara.

 

Government support

Urgensi dukungan regulasi yang sesuai untuk UMKM dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam berinovasi menjadi sangat penting dengan fokus pada kebutuhan kritis untuk menjaga lapangan bermain yang seimbang, mendorong inovasi serta memastikan keseimbangan yang sesuai antara pemain digital konvensional dan disruptif. Dukungan Environment regulation  mendorong Indonesia beralih dari konsumen teknologi menjadi produsen teknologi. Langkah progresif dari pemerintah untuk UMKM layak diapresiasi. Kebijakan kebijakan dan program pro UMKM telah tertuang dalam beberapa peraturan seperti Undang – Undang No.20 tahun 2008 tentang UMKM, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.8/2019 tentang Panduan Pelaksanaan KUR, Program digitalisasi UMKM. Lebih lanjut, pemerintah dapat mengambil peran sebagai kolaborator inisiator yang dapat menyatukan pelaku UMKM dengan supplier, manufaktur dan logistik demi mewujudkan omnichannel yang ideal, menyediakan fair playing field, serta memeratakan akses terhadap barang berkualitas bagi seluruh masyarakat di pelosok negeri.

 

Closure

Mengingat kondisi geografi dan keterbatasan akses internet di Indonesia, sales channel offline tradisional masih mendominasi lanskap ritel Indonesia. Dengan mengeksplorasi saluran alternatif, suatu brand dapat memanfaatkan peluang baru di pasar bebas yang lebih luas sehingga, pertumbuhan yang lebih kuat dan berkelanjutan dapat dicapai, serta dapat menghadapi dinamika lanskap pasar Indonesia. Demi menjadi national brand, suatu brand patut menguasai mayoritas konsumen di Indonesia yang merupakan penduduk di wilayah kota – kota tier bawah. Terlepas dari pentingnya saluran online, patut menjadi pertimbangan bahwa market leaders adalah mereka yang memiliki saluran offline yang mengakar kuat. Namun penting untuk disadari bahwa biaya yang dibutuhkan untuk merintis saluran offline akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan merintis brand pada saluran online. Untuk menjangkau konsumen tersebut, brand harus memprioritaskan penggunaan saluran offline melalui outlet ritel fisik dan jaringan distribusi, perusahaan dapat terhubung dengan segmen – segmen ini.

 

 

Referensi :

https://www.silicon.co.uk/e-marketing/ecommerce/connected-commerce-next-generation-omnichannel-464392

Salvietti, G., Ziliani, C., Teller, C., Ieva, M., & Ranfagni, S. (2022). Omnichannel retailing and post-pandemic recovery: building a research agenda. International Journal of Retail and Distribution Management, 50(8–9), 1156–1181. https://doi.org/10.1108/IJRDM-10-2021-0485

Bagikan:

Postingan Terkait