Mendobrak ‘Lingkaran Setan’ UKM di Indonesia

Adalah Pak Iyus, seorang penjual kain hijab di Bandung, Jawa Barat. Pada puncak usahanya antara tahun 2015-2017, ia berhasil memproduksi 150.000 kain per hari. Akan tetapi, setelah periode itu produksinya mengalami penurunan hingga 80%. Ia pun terpaksa harus mengurangi gaji karyawan demi mempertahankan bisnis. Kenapa ini bisa terjadi pada Pak Iyus? Ternyata, peruntungan bisnisnya berubah drastis karena produk-produk impor yang membanjiri pasar. Ironisnya, seringkali produk-produk impor tersebut dijual secara ilegal. 

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari pengelola pasar Tanah Abang, penjualan produk lokal berkurang 80-50% dari awal tahun 2000 hingga kini. Masalah semacam ini sudah bukan pertama kali terjadi di ekosistem UKM (Usaha Kecil Menengah). Produsen lokal seperti Pak Iyus adalah salah satu korban politik perdagangan. Kerap kali, fluktuasi penjualan dipengaruhi oleh jumlah produk impor yang ada di pasaran. Faktanya, banyak produsen asing melakukan duplikasi pada produk-produk yang sedang tren di masyarakat lalu dalam waktu 6 bulan membanjiri pasar dengan harga murah.

Agar dapat bersaing di pasar, Pak Iyus pun harus mengeluarkan upaya lebih yaitu dengan menjual produk unggulan dalam kurun waktu 6 bulan saja. Alhasil, tanpa bisa melancarkan banyak strategi, ia hanya bisa menerima kenyataan sulitnya bersaing dengan pelaku bisnis global karena mereka menggunakan strategi intelijen pasar. Keterbatasan waktu untuk memutar modal, berinvestasi atau berinovasi menjadi alasan Pak Iyus lambat laun enggan melanjutkan bisnisnya. 

 

Lingkaran setan yang mengancam keberlangsungan UKM di Indonesia

Kisah Pak Iyus di atas menjadi ilustrasi bagaimana sulitnya UKM di Indonesia bertahan karena harga produk impor yang lebih murah. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pelaku UKM yang kehilangan minat untuk berinvestasi dalam jangka menengah maupun panjang karena kesulitan bersaing dengan pemain global. Akibatnya, produktivitas bisnis yang menurun menyebabkan produksi barang tidak lagi efisien.

Vicious cycle atau “lingkaran setan” yang mengancam keberlangsungan UKM ini dapat menciptakan lingkaran setan lain yang lebih kecil bagi masing-masing pekerja di dalamnya. Produktivitas UKM yang rendah berpengaruh pada berkurangnya pendapatan para pekerja, yang berakibat pada pengurangan pengeluaran rumah tangga, termasuk biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Rendahnya akses ke pendidikan berkualitas pada akhirnya menciptakan lebih banyak pekerja berketerampilan rendah yang nantinya akan sangat bergantung pada UKM untuk memperoleh penghasilan.

 

Dampak penjualan produk impor murah di masyarakat

Tidak berhenti di sana, tingginya jumlah produk impor berharga murah di pasaran juga berdampak pada hilangnya pendapatan warga lokal. Untuk memproduksi 150.000 hijab per bulan, Pak Iyus mempekerjakan warga lokal dari 3.600 rumah dalam satu kota. Setiap rumah dapat meraup keuntungan sebesar AS$235, setara kurang lebih 3,6 juta Rupiah. Pendapatan ini lebih besar dari upah minimum. Oleh sebab itu, kalau produksi berkurang karena penjualan produk impor di pasaran lebih banyak, pendapatan total masyarakat lokal pun akan berkurang sebanyak AS$678.000 atau lebih dari 10 miliar Rupiah per bulan. Ironisnya, satu kontainer hijab impor yang dapat memuat 250.000-450.000 hanya perlu membayar pajak AS$44.000-93.000 per kontainer. Jadi kalau kita membeli produk lokal, sirkulasi uang akan lebih berputar cepat sehingga dapat diinvestasikan lebih efisien untuk menjaga perekonomian lokal tetap bertahan.

Sebaliknya, kurangnya konsumsi produk lokal akan membuat UKM terus merugi dan terus  mengalami kesulitan berkompetisi dengan para pelaku global. Walaupun terdapat survei yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal lebih memilih merek lokal ketimbang merek asing untuk produk pakaian, kenyataannya penjualan produk lokal tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Oleh sebab itu, dampak yang lebih buruk akan terjadi jika masyarakat tidak membeli produk lokal. UKM menguasai hingga 97% lapangan pekerjaan di Indonesia yang menampung mayoritas tenaga kerja berketerampilan rendah (tidak terdidik). UKM juga menyumbang 60% dari PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Dengan demikian, UMK bisa dikatakan merupakan ladang pekerjaan yang telah memberikan peningkatan kualitas hidup bagi mayoritas masyarakat dan membantu jutaan orang keluar dari kemiskinan. Peluang untuk memperluas manfaat produksi lokal sangatlah besar karena Indonesia memiliki pasar yang luas, terus berkembang, dan haus akan produk-produk baru nan variatif. Sayangnya, kita belum bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadikannya kenyataan.

 

Cara efektif memutus lingkaran setan yang mengancam keberlangsungan UKM:

Untuk memutus lingkaran setan yang merugikan UKM di Indonesia, seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat, dan para pelaku UKM sendiri harus bekerja sama melakukan satu atau seluruh pilihan cara di bawah ini:

  1. Go local or go home. Masyarakat dapat membantu keberlangsungan UKM dengan menggunakan produk lokal. Sekalipun terdapat produk alternatif yang lebih murah. Pemerintah juga dapat membantu menyuarakan kampanye penggunaan produk lokal. Hal ini dipertimbangkan menjadi langkah pertama dan utama untuk memutus lingkaran setan yang mengancam keberlangsungan UKM. 
  2. Dengan memilih produk lokal, para pelaku UKM dapat terdorong untuk berinvestasi dalam menengah atau jangka panjang. Pemerintah atau para investor juga dapat melakukan sejumlah cara untuk merangsang para pelaku UKM untuk berinvestasi jangka panjang menghasilkan produk lokal.
  3. Meningkatkan produktivitas bisnis. Para pelaku UKM dapat memberikan fasilitas pelatihan pada para pekerja guna meningkatkan keterampilan serta menghadirkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas bisnis.
  4. Bertahan lebih baik daripada menyerang. Pemerintah dapat berperan dalam menciptakan kebijakan perdagangan yang lebih efektif demi keberlangsungan UKM di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menerapkan strategi intelijen pasar yang mengacu pada data yang didapat dari pasar.

Jika seluruh pihak dapat memutus lingkaran ini, niscaya kita dapat memulai virtuous cycle untuk mendorong penjualan produk-produk lokal. Dengan demikian, para pelaku UKM pun dapat lebih antusias berinvestasi dalam jangka waktu menengah hingga panjang. Akhirnya, produktivitas yang meningkat dapat turut mendorong efisiensi dan keuntungan bagi para pelaku sehingga produk lokal dapat berkompetisi dengan produk global. 

Langkah alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan memutus “ketergantungan” pada bisnis UKM sebagai penyokong pendapatan masyarakat dan negara. Sebagai gantinya, pemerintah dapat fokus pada pengembangan sumber daya manusia yaitu melatih tenaga kerja tak terdidik menjadi terdidik. Lingkaran setan dalam ekosistem UKM memang dirasa sulit untuk dihentikan. Namun, bukan berarti tidak mungkin dihentikan. Terutama jika seluruh pihak berpartisipasi bersama sebagai satu negara untuk mengubah situasi ini.

Keterangan gambar:
Virtuous cycle: Virtuous cycle
Local products preferred: Produk lokal diutamakan
SMEs willing to invest: UKM mau berinvestasi
High productivity: Produktivitas tinggi
Able to compete with global products: Mampu bersaing dengan produk global
Higher skilled workers: Tenaga kerja terdidik
More investment in education: Investasi di bidang pendidikan
Higher household income: Pendapatan lebih tinggi

 

Keterangan gambar:
How to break the cycle: Bagaimana memutus siklus?
Go local or go home: Gunakan produk lokal
Invest for the long run: Berinvestasi jangka panjang
Productivity as the engine of growth: Produktivitas tingkatkan pengembangan
Defense is the best offense: Bertahan lebih baik daripada menyerang
Improving worker skills: Meningkatkan kemampuan tenaga kerja

 

Keterangan gambar:
Vicious cycle: Vicious cycle
Cheaper imported products preferred: Produk impor berharga murah diutamakan
SMEs reluctant to invest: UKM sulit berinvestasi
Low productivity: Produktivitas menurun
Unable to compete with global players: Tidak mampu bersaing dengang pemain global
Low skilled workers: tenaga kerja tak terdidik
No investment in education: Tidak ada investasi di bidang pendidikan
Low household income: Pendapatan rendah

 


 

Tulisan ini disadur dan diterjemahkan atas izin penulis dari artikel “How Can Indonesia Break Its Vicious Cycle of Cheap Imports?” yang dipublikasikan oleh World Economic Forum tahun 2021.

Bagikan:

Postingan Terkait