Apakah Produk Lokal Dapat Menyelamatkan Ekonomi Indonesia?

Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 1,9 miliar umat Muslim menghabiskan kurang lebih AS$295 miliar atau lebih dari 4,6 kuadriliun Rupiah untuk barang-barang fashion. Sebagai negara dengan populasi umat Muslim terbesar, industri fashion di Indonesia meraup keuntungan hingga AS$16 miliar per tahun atau sekitar 250 triliun Rupiah. Hanya untuk hijab saja, perempuan Muslim Indonesia membeli hingga 1,02 miliar potong per tahun atau kira-kira satu hijab per bulan. Tidak heran industri fashion hijab bisa meraup keuntungan hingga AS$6,09 miliar atau 22% dari keseluruhan industri fashion.

Sayangnya dari jumlah tersebut, hanya 25% barang yang diproduksi di dalam negeri. Tentu saja ini menjadi peluang yang sia-sia karena tidak bisa meningkatkan ekonomi lokal. Padahal, produksi hijab termasuk produksi padat karya yang lebih banyak membutuhkan tenaga manusia ketimbang tenaga mesin. Artinya, para tenaga kerja dapat menghasilkan pendapatan lebih banyak karena tenaganya dibutuhkan dalam proses produksi, mulai dari produksi kain hingga finishing. Sementara itu, dengan penjualan 1,02 miliar potong hijab dan biaya rata-rata produksi satu hijab adalah AS$2,39 atau setara dengan Rp.37.000,-, maka besaran pangsa pasar adalah AS$2,43 miliar. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan, Indonesia hanya meraup AS$0,61 miliar. Jadi, kita kehilangan kurang lebih AS$1,82 miliar hanya untuk produk hijab saja. Bayangkan jika bisnis hijab bisa melakukan produksi secara lokal, peningkatan ekonomi lokal tentu akan lebih signifikan. Lebih banyak uang yang tersimpan untuk masyarakat lokal. Saat aliran uang bergerak lebih cepat dan mencapai lebih banyak orang di masyarakat lokal, ekonomi lokal dapat terus hidup dan bertahan. 

Produksi barang secara lokal dapat lebih menguntungkan UKM

ZM merupakan UKM lokal yang didirikan pada tahun 2016, berkantor pusat di area selatan Jakarta yang terkenal sebagai area pusat gaya hidup di Indonesia. Bisnis utama UKM ini adalah barang-barang fashion. Dari tahun ke tahun, UKM tersebut diketahui terus berkembang dengan penjualan hingga 70.000 potong pakaian seharga rata-rata AS$5,97 (Rp.90.000,-) per bulan. Pemilik ZM pun tidak menyangka pertumbuhan bisnisnya dapat meningkat drastis karena mereka masih terhitung baru di industri fashion

Menariknya, UKM ini memproduksi barang-barang yang dijual secara lokal dengan menggunakan sistem yang menggabungkan antara cloud manufacturing dan produksi pabrik. Secara singkat, cloud manufacturing dapat diartikan sebagai proses produksi yang dilakukan di beberapa tempat sehingga tidak terbatas pada satu pabrik saja. Produksi bisa dilakukan di rumah atau ruang-ruang komunitas. Seluruh produk yang dibuat nantinya akan disatukan untuk didistribusikan dan dijual. Cara ini memungkinkan mereka untuk menekan biaya produksi dan membuat produksi jadi lebih fleksibel serta terukur. Alhasil, ZM berkembang sangat cepat dan dapat memproduksi barang-barang unggulan yang berkualitas. 

Sementara itu di Bandung, Pak Iyus juga melakukan upaya keras dalam menghasilkan barang-barang jualannya. Selama bertahun-tahun ia telah melibatkan masyarakat lokal untuk membantu dalam proses produksi barang-barang UKM-nya tanpa harus beranjak dari rumah masing-masing. Pak Iyus bahkan telah membangun sistem cloud manufacturing yang diadopsi dari Cina dan Vietnam. Dengan mengalihdayakan produksi ke sistem cloud manufacturing, UKM seperti milik Pak Iyus, ZM, dan UKM lokal di bidang fashion lainnya dapat fokus pada pemasaran dan desain. 

Walaupun produksi barang-barang hijab tidak membutuhkan proses yang rumit, tetap dibutuhkan serangkaian tahap yang harus dilakukan. Mulai dari pemotongan, penjahitan, pelabelan, hingga pengemasan. Oleh sebab itu, untuk mengurangi biaya, Pak Iyus membagi proses produksi berdasarkan jenis pekerjaan. Pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi diberikan pada masyarakat lokal. Mereka bisa mengerjakannya di rumah masing-masing. Sementara pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan kemampuan lebih tinggi dilakukan oleh tenaga kerja terdidik di pabrik. Setelah produk sudah diselesaikan di pabrik, Pak Iyus mengirim barang-barang jadi tersebut ke mitra logistik. Pendapatan sebesar AS$2,39 atau sekitar Rp.37.000,- yang diterima Pak Iyus per produk langsung dialirkan ke tenaga kerja lokal yang mengerjakan produksi. 

Tidak hanya Pak Iyus, ZM juga menggunakan mitra logistik untuk mendistribusikan barang-barang jualannya agar dapat memenuhi tuntutan distribusi yang serba cepat. Peningkatan permintaan barang yang pesat mendorong ZM untuk melakukan ekspansi bisnis yaitu menempatkan lokasi produksi di beberapa kota lain. Oleh sebab itu, bermitra dengan perusahaan logistik juga langkah lain untuk mendukung percepatan perkembangan bisnis. Sementara itu jika UKM melakukan produksi di luar negeri, pendapatan sebesar AS$2,39 atau sekitar Rp.37.000,- tersebut hanya akan dibagikan di antara importir saja.

Kini, semakin banyak UKM seperti ZM dan Pak Iyus yang berkembang di tengah pertumbuhan demografis di Indonesia yang juga dikenal dengan sebutan bonus demografi. Negara ini diprediksi akan mencapai puncak bonus demografi (antara tahun 2020 hingga 2030) ketika penduduk berusia produktif berjumlah lebih banyak ketimbang penduduk berusia non-produktif. Bonus demografi ini merupakan peluang emas untuk dimanfaatkan jika Indonesia ingin keluar dari middle income trap atau “jebakan pendapatan kelas menengah”. Sebuah negara yang berada dalam situasi tersebut biasanya kesulitan untuk bergerak menjadi negara maju.  

 Saat ini Indonesia diperkirakan memiliki 68 juta UKM. Jika para pelaku UKM dapat memanfaatkan momen bonus demografi tersebut, maka dampak positif tidak hanya akan dialami oleh para pelaku UKM saja. Berbagai pihak lain juga akan merasakan manfaat ekonomi. Beberapa kisah di atas hanya menjadi contoh kecil untuk memperlihatkan bagaimana dengan memproduksi secara lokal dapat memberikan keuntungan besar. Bayangkan apabila lebih banyak barang yang diproduksi secara lokal. Transformasi ekonomi yang signifikan bukanlah hal yang mustahil untuk terjadi di Indonesia. 

 


 

Tulisan ini disadur dan diterjemahkan atas izin penulis dari artikel “How local hijab producers could make an economic impact in Indonesia” yang dipublikasikan oleh World Economic Forum tahun 2022.

Bagikan:

Postingan Terkait